MUTIARA AKIDAH

————————————–

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Qudus meniupkan ke dalam hatiku bahwa jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan cukup rizqinya. Bertaqwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam meminta. janganlah terlambatnya risqi menyebabkan seseorang di antara kalian memintanya dengan maksiat. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tak akan diraih kecuali dengan mentaatiNya.” (HR. Abu Nuaim, dishahihkan oleh Al-Albani rhm dalam shahih al- jami’ -2085)

————————————–

Al-Qolam Kr-Moncol

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

MUTIARA KISAH

Seorang laki-laki menemui Umar bin Khatab ra. memberitahu bahwa ibunya telah lumpuh. Ia selalu menggendongnya ke kamar kecil serta melindunginya dari bahaya. Ia bertanya kepada Umar: “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Umar menjawab: “Belum.” Ia bertanya:”Mengapa?” Umar menjawab:” Karena kamu merawatnya, namun kamu mengharap kematiannya, sedangkan ia dulu merawatmu saat kamu kecil, melindungi dari bahaya dan mengharap kamu tetap hidup” (Shahih Adabul Mufrad)

Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kisah di atas.

——————————–

Al-Qolam Kr-Moncol

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Kawan Dan Lawan Dalam Perspektif Islam

Kawan dalam terminologi Islam adalah seorang yang bukan diikat oleh ikatan darah, warna kulit, suku bangsa, atau bahasa. Namun, mereka yang diikat oleh ikatan keimanan, pancaran kecintaan dan kebencian, sikap dan persepsinya terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah Rasulullah menyebutkan bahwa ikatan Islam yang kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

Sebaliknya, lawan dalam Islam disekat oleh sekat keimanan, pandangan dan sikap kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan disekat oleh kedekatan, status sosial, keturunan, pangkat, derajat, dan lainnya.

Penempatan kawan dan lawan yang tepat akan melahirkan sikap yang benar. Sebaliknya penempatan yang salah akan melahirkan sikap yang keliru, bahkan dalam tingkatan tertentu yang seharusnya menjadi kawan dianggap sebagai lawan atau sebaliknya. Baca lebih lanjut

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Memelihara Ilmu dari Orang yang Tidak Berhak

Ilmu bukanlah barang dagangan yang diperjual-belikan. Dengan kecerdasan dan firasatnya, seorang penuntut ilmu akan memilih ilmu yang akan ia sampaikan kepada setiap kelompok manusia sesuai dengan kondisi dan tingkat keilmuan serta lingkungan tempat mereka tinggal.

Terkadang, ada beberapa permasalahan ilmiah dan rinciannya yang tidak sesuai dengan orang-orang awam dan justru menimbulkan syubhat dan keraguan di kalangan mereka. Terkadang juga, ada orang-orang bodoh yang tidak layak mempelajari dan mendengarkan ilmu karena mereka menerimanya dengan tindakan buruk, olok-olok dan peremehan. Baca lebih lanjut

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Tertib Amal, Hasil Optimal

Modal manusia di dunia untuk ‘membeli’ kenikmatan jannah yang abadi hanyalah berupa waktu atau umur yang singkat. Umur rata-rata umat ini berkisar antara 60 hingga 70 tahun saja, seperti yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam,

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, dan hanya sedikit yang melampaui itu.” (HR Tirmidzi, hasan)
Sejatinya, umur yang panjang tidak menjadi jaminan bahwa seseorang lebih banyak pahala kebaikannya. Seberapa banyak pahala yang bisa dkumpulkan manusia tak hanya dipengaruhi oleh banyaknya waktu dan tenaga yang dikerahkan, banyaknya harta yang dikeluarkan, atau banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Justru yang paling penting adalah bagaimana manusia memberdayakan potensi yang dimilikinya sesuai dengan porsi yang pas, waktu yang tepat dan cara yang efektif pula.
Agar Pahala Lebih Optimal Baca lebih lanjut

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Hati-Hati Dalam Membawa Hati

 فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit tersebut, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat apa yang mereka dustakan“. (Qs. al-Baqarah: 10)

Ada beberapa pelajaran dari ayat di atas, diantaranya:

Pertama: Menurut al-Baidhowi di dalam tafsirnya (1/166), sakit adalah sesuatu yang mengganggu keseimbangan  badan sehingga membuat kerusakan di dalam beraktifitas. Sakit dibagi menjadi dua, sakit hati dan sakit fisik. Adapun sakit hati  meliputi: sakit ragu-ragu, nifak,  ingkar dan dusta. (lihat tafsir al-Qurthubi: 1/138). Penyakit –penyakit hati seperti inilah yang menimpa orang-orang munafik. Selain itu, terdapat penyakit hati dalam bentuk lain, seperti sakit hasad, dengki, iri, dan dendam yang kadang juga menimpa sebagian orang-orang Islam. Oleh karenanya, kita diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari penyakit hati tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Qs. al-Falaq: 5, “Dan aku berlindung dari kejahatan  orang yang hasad jika dia hasad“

Kedua: Penyakit hati jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik, hal itu karena beberapa sebab:

1. Allah mencela orang yang mempunyai penyakit hati dan tidak pernah mencela orang yang mempunyai penyakit fisik.

2. Penyakit hati, seperti iri, dengki dan dendam bisa menyebabkan munculnya penyakit fisik, seperti stress, sesak nafas, pusing, jantung, tekanan darah tinggi dan kanker.

3. Penyakit hati menyebabkan orang celaka dunia dan akhirat, berbeda dengan penyakit fisik yang tidak menyebabkan celaka di akherat.

Ketiga: Allah menyebutkan: “Di dalam hati mereka ada penyakit“ ini menunjukkan bahwa penyakit tersebut sudah masuk ke dalam tubuh secara permanen, sehingga menjadi akut dan susah untuk dihilangkan, karena berada di dalam hati. Berbeda kalau menyebut: “ Mereka sakit “, mungkin masih bisa disembuhkan.

Keempat“Maka Allah menambah penyakit tersebut“, menunjukkan bahwa kekafiran, kenifak-an dan kemaksiatan itu bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana juga keimanan itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Kelima:  Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kesesatan seorang hamba berasal dari perbuataannya sendiri. Jadi, Allah tidak mendzoliminya, tetapi hamba itulah yang mendzalimi dirinya sendiri. Orang-orang munafik telah membuat penyakit di dalam hati mereka sendiri dan pada hakekatnya mereka tidak menginginkan kebenaran dan kebaikan. Maka, Allah menambah penyakit tersebut sebagai hukuman atas perbuatan mereka sendiri. Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (1/179): “Hukuman sesuai dengan perbuatan”. Hal yang serupa telah dijelaskan Allah di beberapa ayat-Nya, seperti dalam Qs. al-Baqarah: 10, Qs. al-Maidah: 49,  Qs. al-An’am: 110 dan Qs. ash-Shof: 5.

Kelima: Penyakit hati terdiri dari penyakit syahwat dan syubhat. Penyakit syahwat berhubungan dengan maksiat anggota badan, seperti berzina, membunuh, berbohong dan mencuri. Sedang penyakit syubhat berhubungan dengan hati dan pemikiran, seperti meragukan kebenaran Islam, menolak hadist shahih dan menyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Penyakit syubhat inilah yang  lebih menonjol dalam diri orang munafik, (Ibnu Qayyim, Ighatsatu al-Lahfan: 165-166) dan ini lebih berbahaya dari penyakit syahwat. Karena penderitanya susah untuk disembuhkan. Lihat Qs. an-Nisa : 137 dan Qs. al-Munafiqun: 3.

Keenam: Penyakit syubhat bisa mengeluarkan seseorang dari keimanan sehingga menjadi kafir, seperti orang–orang liberal yang meragukan keaslian al-Qur’an  dan  menolak kebenaran ajaran Islam serta menyatakan bahwa semua agama benar dan mengantarkan penganutnya ke dalam Syurga. Begitu juga kelompok Ahmadiyah yang menyakini adanya nabi seteIah nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kelompok Ingkar Sunnah yang menolak keberadaan as-Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.

Ketujuh: Untuk mengobati penyakit syhubhat, seseorang hendaknya belajar dan mencari ilmu syar’I, sebagaimana firman Allah di dalam Qs. Muhammad: 19; “Maka ketahuilah bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah“. Adapun untuk mengobati penyakit syahwat, seseorang hendaknya sering mengingat kematian dan menyakini bahwa dunia ini adalah fana, kesenangan di dalamnya adalah kesenangan sedikit dan menipu. Sedangkan kesenangan abadi hanyalah di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (kematian)”. HR. Tirmidzi “. Wallahu A’lam.

DR. Ahmad Zain An Najah, MA dikutip dari http://www.ahmadzaid.com

Al-Qolam Kr-Moncol

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Hati-hati, Banyak Setan dalam Diskusi Kita

KIBLAT.NET – Hari ini, sebagian besar waktu kita mungkin terkuras untuk berdiskusi di media sosial atau grup-grup tertentu, di dunia maya maupun di handphone. Banyak sekali sarananya; Whatsapp, BBM, Line, Facebook, Twitter dan masih banyak lagi.

Agar diskusi atau buah dari tarian jari-jari kita lebih bermanfaat, ada satu hadis yang patut diingat-ingat ketika berdiskusi. Banyak orang mungkin sudah tahu dan hafal hadis ini. Tetapi tidaklah aib bila kita ulang di sini:

Abu Hurairah berkata, “Seseorang telah mencela Abu Bakar. Abu Bakar pun diam, sedangkan Nabi SAW ketika itu bersama mereka dalam posisi duduk. Nabi merasa kagum, lalu tersenyum. Ketika orang itu memperbanyak cercaannya, Abu Bakar menimpali sebagian yang diucapkannya. Nabi pun marah dan beranjak pergi.

Abu Bakar kemudian menyusul beliau dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, orang itu telah mencerca diriku, dan engkau tetap duduk. Namun, saat aku menimpali sebagian yang diucapkannya, mengapa engkau marah dan berdiri?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Tadi ada malaikat bersamamu dan menimpali orang tersebut, sementara engkau diam. Akan tetapi, ketika engkau menimpali sebagian yang diucapkannya, setan pun datang dan aku pun tidak mau duduk dengan setan.’

Kemudian beliau SAW bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya benar:

  1. Tidaklah seseorang yang dizalimi dengan suatu kezaliman, kemudian ia memaafkannya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya karena perbuatannya itu dan akan menolongnya.
  2. Tiada seseorang yang membuka pintu pemberian dengan niat bersilaturahim, melainkan Allah akan memperbanyak hartanya. T
  3. Tiada seseorang yang membuka pintu untuk meminta-minta dengan niat meperbanyak hartanya, melainkan Allah akan menyedikitkan hartanya.” (Al-Haitsami mengatakan, “Para perawinya shahih.” Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya baik.”).

Kita adakalanya membicarakan suatu tema, misalnya tentang krisis umat Islam, perselisihan di antara mujahidin, atau kelompok-kelompok dan manhaj mereka. Atau tema sosial lainnya. Di dunia maya yang serba terbuka, sangat besar kemungkinan ada orang yang berkomentar tidak baik. Bahkan mungkin mencela dan melecehkan buah pikiran Anda. Bukan sebatas itu, orang yang tidak Anda kenal mungkin akan mengatakan niat Anda tidak ikhlas dan tuduhan lainnya. Nah, dalam hal ini ada dua hal yang sejatinya adalah ujian bagi kita:

  1. Bila hinaan tidak dibalas dengan hinaan, mudah-mudahan malaikat bersama Anda dan membalas ungkapan penghina itu agar berbalik kepadanya. Doa malaikat tentu lebih dekat untuk dikabulkan. Selain itu, Rasulullah telah memberikan jaminan bahwa bila kita memaafkan celaan itu, Allah akan menolong dan mengangkat derajat.
  2. Bila celaan itu kita balas, kedudukan pertama tadi pun lenyap. Malaikat pergi, dan setanlah yang bermain. Setan datang untuk membisikkan kata-kata rayuan kepada masing-masing pihak. Perdebatan pun akhirnya kering dari kemungkinan berkah. Banyak kata-kata sia-sia, pamer, fitnah, dan kesombongan. Meskipun salah satu pihak berada dalam kebenaran, sedangkan pihak lain tidak benar, diskusi itu menjadi tidak bermanfaat.

Manakah di antara dua itu yang banyak dilakukan oleh orang pada zaman sekarang? Hanya orang-orang yang dipilih oleh Allah yang bisa menahan diri dan melakukan yang pertama. Apalagi di akhir zaman ini, Rasulullah menyebutkan bahwa banyak orang akan membanggakan buah pikirnya sendiri.

Agar kita menjadi orang-orang pilihan Allah, kata-kata yang melecehkan tidak harus dibalas dengan pelecehan. Balaslah dengan kata-kata yang baik dan ilmiah. Jika yang kita sampaikan adalah suatu kebenaran, ia tidak akan tertutupi oleh buruknya cara orang membantah pendapat kita. Maka Allah pun berfirman, “Kebaikan itu tidak akan pernah sama dengan keburukan. Balaslah (keburukan itu) dengan yang lebih baik.” Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ibnu Yaman. Terinspirasi oleh tulisan Dr Iyad Qunaibi, semoga Allah memberikan pahala jariah  kepada beliau.

Al-QOLAM Kr_Moncol

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Doa saat menghadapi kesusahan dan kesempitan hidup

Hidup seorang manusia tidak akan pernah lepas dari kesusahan, kesempitan hidup, kesedihan, musibah dan cobaan. Dalam kondisi sempit seperti itu, tiada tempat yang lebih baik untuk mengadu dan meminta selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb yang menurunkan ujian kepada hamba-Nya untuk hikmah tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah Ta’ala saat berbagai kesusahan dan kesempitan hidup mendera kita. Kita harus kembali kepada Allah Ta’ala dengan memuji-Nya, mengagungkan-Nya dan mengesakan-Nya.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jika sedang menghadapi sebuah kesusahan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam biasa membaca doa:

«لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ العَلِيمُ الحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ رَبُّ العَرْشِ الكَرِيمِ»

Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah Pemilik ‘arsy yang agung. Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah pemilik langit, pemilik bumi dan pemilik ‘arsy yang mulia.” (HR. Bukhari no. 7426 dan Muslim no. 2730)

Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata: “Ini adalah sebuah hadits yang agung, wajib diperhatikan dan harus sering dibaca saat menghadapi kesusahan hidup dan perkara-perkara yang berat.”

Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari berkata: “Generasi salaf (sahabat) sering membaca doa ini dan mereka menyebutnya doa kesusahan hidup.”

Dari : Arrahmah.com

Al-Qolam Kr-Moncol

//

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

HABIB BIN ZAID, Sekokoh Karang Sekuat Baja

Saat iman menghujam di dada, segala ujian dan cobaan akan terasa ringan. Tiap rasa sakit dan kesulitan akan dilihat sebagai ujian. Kala menghadapinya, bukan kesedihan yang dirasa, melainkan bahagia karena berhasil melewatinya dan membuktikan ketulusan dan kekuatan imannya kepada Allah. Inilah yang terjadi pada Habib bin Zaid, untuk mempertahankan imannya, ia rela mempertaruhkan nyawa.
Habib bin Zaid termasuk generasi awal shahabat Anshar. Sebelum berhijrah ke Madinah, Rasulullah mengirim Musab bin Umair sebagai juru dakwah. Lewat dakwah Mushab bin Umair inilah Zaid memeluk Agama Islam. Pertemuan pertamanya dengan Nabi terjadi pada peristiwa Ba’iat Aqabah kedua. Kala itu, Nabi mengumpulkan 73 shahabat dan 2 shahabiyah anshar dari kabilah Aus dan Khazraj di bukit Aqabah untuk bersumpah setia menjadi pembela dan penyebar risalah Islam.

Habib bin Zaid baktikan hidupnya untuk Islam. Ia ikut terjun dalam pertempuran-pertempuran penting. Pada perang Uhud, bersama ibunya, Ummu Umarah, Habib menjadi bagian dari pasukan Islam yang bertahan melawan pasukan kafir Quraisy. Namun, kisahnya yang paling menarik adalah saat Nabi memilihnya sebagai utusan Rasulullah kepada Musailamah al-Kadzdzab sang Nabi palsu.
Sebelum Musailamah mendeklarasikan diri sebagai Nabi, Bani Hanifiah dipimpin oleh Haudzah bin Ali. Nabi Muhammad n pernah mengirimkan shahabat Salith bin al-Amiry menyampaikan surat dakwah kepadanya. Ajakan ini diterima dengan baik dan ramah oleh Haudzah. Ia bersedia memeluk Islam sesuai ajakan Nabi n, tetapi mengajukan syarat untuk berbagi kekuasaan. Ia mengirim surat balasan tersebut dan memberikan berbagai macam hadiah bagi Nabi n, tetapi beliau tidak menanggapi syarat Haudzah.
Ketika Nabi n dalam perjalanan pulang dari Fathul Makkah, beliau mendengar kabar kematian Haudzah dari Malaikat Jibril. Beliau umumkan berita duka itu kepada para shahabat. Setelah itu beliau sampaikan sebuah ancaman baru akan terjadi.
“Akan muncul seorang pendusta yang mengaku sebagai nabi dari Yamamah. Setelah aku tiada, dia akan menjadi penjagal.”
Shahabat bertanya siapa yang akan dibunuh oleh Musailamah dan siapakah yang menjadi korbannya. Beliau menjawab, “Kalian dan teman-teman kalian.”

Prediksi Nabi di atas benar-benar terbukti. Musailamah mengangkat dirinya sebagai Nabi. Ia mendapat dukungan hingga jumlah pengikut terus bertambah besar. Khususnya dari Bani Hanifah dan penduduk Yamamah. Keberadaan mereka menjadi ancaman baru. Bahkan Musailamah berani meminta hak kenabian kepada Rasulullah saat beliau masih hidup. Dengan lancang ia mengawali suratnya, “Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah.”
Nabi n mengirim balasan surat kepada Musailamah untuk membongkar kesesatannya dan menghentikan provokasinya kepada masyarakat Arab. Untuk menjalankan misi penting tersebut, Nabi n memilih Habib bin Zaid.

Habib sadar risiko yang akan dihadapinya. Misi tersebut mempertaruhkan nyawa. Namun ia siap menghadapinya. Baginya, hal itu tidak ada bedanya bertempur di medan perang melawan musuh-musuh Islam. Andai ia gugur, ia mati sebagai syahid.
Kala itu, telah menjadi etika umum bahwa seorang utusan tak boleh diganggu, dilukai apalagi dibunuh. Namun, Nabi palsu Musailamah tak mengindahkan etika tersebut. Ia perintahkan anak buahnya menangkap Habib dan menyiksanya tanpa peri kemanusiaan.
Esok harinya, Musailamah kumpulkan rakyatnya. Ia ingin menunjukkan seorang shahabat Anshar akan menjadi pendukung barunya dan murtad dari agama Islam. Jika itu terjadi, para pendukungnya akan semakin patuh dan percaya kepadanya. Wibawanya akan semakin tinggi.

Habib dibawa ke tengah kerumunan. Terlihat jelas bekas siksaan berat di sekujur tubuhnya. Setelah menghujani Habib dengan berbagai siksaan, Musailamah shahabat Anshar itu akan berubah haluan.
Musailamah bertanya dengan angkuh kepada Habib bin Zaid, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Ya, benar. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” kata Habib.
Musailamah mulai geram, “Apakah engkau mengakui aku juga utusan Allah?”
“Apa? Apa yang kamu katakan? Aku tidak mendengar apapun,” kata Habib pura-pura tuli.
Amarah Musailamah langsung meledak hingga ke ubun-ubun. Ia bertanya sekali lagi, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Benar, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah!” Jawab Habib mantap.
“Apakah engkau juga mengakui aku sebagai utusan Allah?”
Habib kembali pura-pura tak mendengar, “Apa yang kamu katakan. Aku tidak mendengar apa-apa.”

Kemarahan Musailamah tak terbendung lagi. Ia memerintahkan algojo memberinya pelajaran. Sang algojo menusukkan pedang ke tubuh Habib perlahan-lahan supaya ia merasakan sensasi kepedihan tak terperikan. Musailamah seakan tak puas melihat penderitaan Habib tersebut. Ia lalu perintahkan menyayat dan mengiris tubuh Habib sedikit demi sedikit dan sepotong demi sepotong.
Tak bisa dibayangkan rasa sakit yang menjadi penderitaan Habib bin Zaid. Siksaan berat itu benar-benar menguji keimanannya. Tapi, bukan teriakan ampun yang keluar dari mulut shahabat mulia tersebut, melainkan kalimat tauhid La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Ia bertekad menjaga keimanannya hingga hembusan nafas terakhir.

Habib bin Zaid lebih memilih mati dalam keimanan. Meski dalam kondisi tersebut ia mendapat ruhsah berpura-pura kafir. Ancaman maut yang dihadapinya benar-benar nyata. Ia dibiarkan hidup hanya jika mengaku beriman kepada Musailamah. Ia akan dibunuh jika masih beriman dan mengakui Muhammad sebagai Rasulullah. Tiada pilihan lain. Karena kondisi itulah, ia dibolehkan mengucapkan kalimat kufur, sedang hatinya mengingkari dan masih tetap beriman.
Kendati demikian, Habib lebih memilih mati syahid daripada harus bertaqiyah. Pilihan ini memang tidak ringan. Namun ia menjalaninya dengan tabah karena yakin pahala yang lebih besar dari Allah. [ali]

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM

Iblis pun Tak Lelah…

Pisau telah terasah tajam, anak semata wayang, sembilir tulang yang dirindukan siang-malam kelahirannya, yang ditinggalkan ketika bayinya itu telah berpasrah ridho menyambut titah Robb yang diserukan dalam mimpi ayah handanya. Ismail sang anak yang penuh kesabaran menyambut perintah penyembelihan dirinya dengan kalimat yang menggetarkan qalbu-qalbu keimanan, dan Ibrahim sang ayahanda yang tak pernah meletakan ketaatannya pada Alloh di belakang tirani perasaannya berdiri dengan tenang melawan berjuta amuk perasaan.

Kisah selanjutnya tentu sudah kita hafal bersama. Mungkin, hanya satu episode ringan yang terkadang kita lewati. Tentang sosok iblis penggoda, mendatangi ibrahim, ia gagal, rajaman batu ibrahim memanaskan tubuhnya, tak berhenti, ia datangi hajar, sang bunda yang penuh kelemah lembutan, namun, lagi-lagi, kutukan dan rajaman batu yang ia rasakan, tak juga menyerah, Ismail pun tak luput dari targetnya, namun juga pada akhirnya hanya menjadi penyesalan bagi sang pemilik gelar durjana.

Nah, kita jadi bertanya, sebegitu bodohnya kah iblis, mau repot2 menggoda para rosul, orang-orang pilihan Alloh? Alloh tentu tidak akan memilih orang sembarang, yang gampang tergoda, meski bergelombang ujian menerpa? Tidak mungkin. Tapi dia, iblis, ternyata tak mengenal lelah menebar dusta, mengajak ingkar pada robbuna meski dia seorang anbiya, juga tak mengenal siaran tunda meski tubuh telah lelah mendera luka.

Ya Alloh, alangkah malunya kita, berhenti memasuki medan juang saat kerikil baru menggelitik ujung jemari kaki, alangkah ridhonya kita mengatakan, “Ah dia sulit untuk didakwahi… dia dedengkot thogut, dia pemilik hati berkarat-karat” padahal seutas doa pun belum terlontar mengiring ajakan menuju mihrab-Nya. Duh, alangkah beratnya hati untuk mengatakan, bahwa kita sudah mendahului ketentuan Alloh sebelumnya segalanya kita kerahkan.

Ganjar Wijaya <ganjar_wijaya@yahoo.com>

Al-Qolam Kr-Moncol

//

By MUFLICHIN ATIEF Dikirimkan di AL-ISLAM