Selamat Dengan Satu Kalimat

Selamat Dengan Satu Kalimat

Ada kisah yang sangat dramatis, namun bukan drama rekaan atau sandiwara. Melainkan kenyataan yang kelak terjadi di hari Kiamat. Kisah yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara shahih oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad.

Kisah Pelaku Banyak Dosa

Kisah tentang anak manusia yang dibebaskan dari neraka, dan disaksikan oleh seluruh manusia, dari yang awal hingga yang paling akhir. Mari kita ikuti kisah berikut ini.

“Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat.”

Termasuk kita, kelak juga akan menyaksikan peristiwa itu.

“Ketika itu dibentangkan 99 tumpukan buku catatan (keburukan) miliknya. Setiap buku catatan dosa panjangnya sejauh mata memandang.”
Ini menggambarkan betapa banyak dosa yang dilakukannya. Bayangkan juga dosa-dosa kita, berapa kali dalam sehari berbohong, berucap kotor, atau menggunjing, padahal setiap kata yang terucap itu ada catatannya, ada malaikat pencatat yang senantiasa menyertai. Begitupun dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan, kaki dan anggota jasad yang lain. Semuanya tercatat dan tak satupun terlewat. Banyak manusia kelak akan terbelalak melihat akumulasi dosa yang semua tercatat dengan detil. Seperti yang dikisahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam ini. Dia melihat 99 tumpukan buku catatan yang berisi segala keburukan yang telah dilakukannya. Tak terbayang betapa malu, takut dan paniknya ketika itu.

 Kemudian Allah berfirman, “Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah berlaku curang kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rabbku.”

Di dunia, mungkin banyak yang bisa berkilah dengan lidah, mengelak dengan trik dan mencari kambing hitam, namun ketika itu dia tak berkutik. Karena tidak ada satupun yang meleset, keliru atau salah tulis. Semua persis dengan kejadian nyata yang memang dialaminya, baik waktu maupun tempatnya. Tak ada lagi celah untuk berkilah.

Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?” Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku.”

Tak sanggup lagi dia beralasan. Karena dakwah telah sampai di telinganya, dia juga sudah tahu bagaimana seharusnya dan apa yang semestinya tidak dilakukannya. Tapi, ia cenderung mengikuti hawa nafsu yang tergiur mencicipi dosa demi dosa yang tampak menggiurkan. Seperti kita, berbagai kewajiban yang telah kita ketahui ilmunya, dan Allah memberi kita kesempatan, namun tak semua kewajiban kita tunaikan. Begitupun berbagai dosa yang telah kita ketahui keharamannya, tak serta merta kita tinggalkan semuanya. Semestinya kita banyak mengingat saat-saat seperti ini, untuk mempersiapkan jawaban di akhirat nanti.

Orang tersebut, saking takutnya dan merasa bakal celaka lantaran begitu banyaknya dosa-dosa, ia melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya, lalu Allah mengingatkannya.

 Allah berfirman, “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun.”

Sebagaimana keburukan diperlhatkan dari yang besar hingga yang kecil, maka kebaikanpun juga ditampakkan, meskipun itu dianggap kecil. Dalam keadaan takut karena banyaknya dosa, tentu ia berharap masih punya simpanan kebaikan yang akan mengimbangi keburukannya, atau minimal mengurangi beban timbangan keburukan yang begitu berat. Bayangkan jika orang itu adalah kita, pasti akan penasaran dan harap-harap cemas, kiranya apakah gerangan kebaikan yang belum dia ingat itu. Dan ternyata terlihat hanya sebuah kartu kecil…

“ Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu kecil) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”

Ya, kartu yang hanya bertuliskan satu kalimat syahadatain, yang jika dilihat ketebalan dan ukurannya amatlah jauh dari tumpukan buku catatan keburukan miliknya.

 Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’.

Saat itu, ia pun pesimis pada saat didatangkan timbangan, sementara ia melihat begitu jauh perbandingan antara kebaikan dan keburukannya. Harapannya nyaris sirna setelah melihat kebaikannya hanya berupa satu kalimat yang singkat tertulis dalam satu kartu yang kecil.

Dia berkata, “Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh buku catatan keburukan itu?”

Ini menggambarkan betapa pesimisnya ia. Akan tetapi,

Allah berfirman, “Sungguh kamu tidak akan dianiaya.”

Selamat dengan Satu Kalimat

Allah tidak menganiaya hamba-Nya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan akan ditimbang, apalagi kebaikan yang memiliki nilai yang besar dan agung. Dan apa yang terjadi kemudian sangat dramatis. Nabi melanjutkan kabarnya,

فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْء

Kemudian diletakkanlah tumpukan buku catatan keburukan tersebut pada satu daun timbangan, sedangkan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka tumpukan buku catatan keburukan tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Allahu Akbar, peristiwa yang menegangkan tersebut berakhir dengan keberuntungan orang itu. Ia akhirnya selamat dengan modal satu kalimat, yakni syahadatain. Ini menunjukkan betapa agung kalimat ini. Akan tetapi, apakah hanya dengan ucapan kosong tanpa tahu konsekuensi dan maknanya? Tentu saja tidak.

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Sebagian menyangka bahwa sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Seakan tak ada ketentuan lain kecuali ucapan. Padahal, apalah artinya ucapan jika hati dan tindakannya berseberangan dengan apa yang diucapkannya. Para munafik pun tak hanya mengucapkan syahadat, bahkan berbagai amal wajib dan sunnah dikerjakan, tapi mereka mendekam di neraka yang paling dalam. Karena apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan isi hati dan perbuatannnya.

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahb bin Munabbih ketika beliau ditanya, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Ya, memang benar. Akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi yang sesuai, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.”

Begitupun tatkala memahami hadits yang diriwayatkan oleh Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq seperti dalam hadits pertama dan kedua tersebut haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad, yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Sehingga tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain.

Setidaknya orang yang mengucapkannya mengetahui makna yang terkandung di dalamnya, sekaligus konsekuensi yang harus dilakukannya. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

 “Barangsiapa yang meninggal, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, ia pasti masuk surga” [HR Ahmad].

Kalimat “la ilaha illallah” memiliki makna dan konsekuensi yang besar. Kalimat inilah yang menjadi poin permusuhan antara yang haq dan yang dan bathil. Karena kalimat inilah orang-orang musyrikin Arab dahulu memerangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mereka tidak mengingkari bahwa Allah lah yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, bahkan mengatur alam semesta. Hanya saja mereka tak sudi mentauhidkan Allah dalam ibadah tanpa menyekutukan dengan sesuatu yang merupakan inti dan konsekuensi dari kalimat la ilaha illallah.

Jikapun seseorang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, atau berulangkali melantunkan kalimat thayibah la ilaha illallah menjadi tidak berfaedah jika kemudian dia melakukan kesyirikan. Bahkan teramasuk seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan, sebagaimana firman Allah,

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar 65)

Wallahu a’lam bishawab (Abu Umar Abdillah)

Disadur dari: Majalah Ar-Risalah

Syafaat Seorang Sahabat

sahabat

Jika ada orang dekat selain keluarga, maka ia adalah sahabat. Hampir setiap orang, atau bahkan semua orang mengharapkan hadirnya sahabat.  Yakni teman yang setia dalam suka dan duka, menghibur di saat sedih, membantu saat dibutuhkan dan partner yang asyik untuk merayakan sebuah kesenangan. Bersahabat adalah tabiat, maka jika seseorang tidak bersahabat dengan orang-orang yang taat, besar kemungkinan ia akan bersahabat dengan ahli maksiat, karena “al arwah, junuudun mujannadah”, seseorang cenderung bergabung dengan orang yang setipe dengannya.

Arti Seorang Sahabat

Karena itu orang beriman memiliki pandangan lebih terkait sahabat. Tak melulu soal akrab dan dekat. Apalah arti sahabat akrab yang mengenyam suka duka bersama di dunia, namun nantinya menjadi musuh satu sama lain di akhirat, sebagaimana keadaan yang dikabarkan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az Zukhruf: 67)

Seorang mukmin memandang bahwa persahabatan yang manfaat adalah sahabat yang terikat oleh iman, pergaulan yang terjadi demi takwa yang makin menguat dan agar lebih mudah merealisasikan taat. Inilah yang disebut dengan persaudaraan iman, meski tak ada hubungan nasab di antara mereka. Bahkan sejatinya, persaudaraan iman lebih manfaat dan lebih langgeng dari persaudaraan karena hubungan nasab yang tidak dibingkai oleh iman.

Orang-orang yang memiliki hubungan nasab, ketika di dunia saling mengasihi, saling membela dan terjalin hubungan yang harmonis, bisa jadi di akhirat kelak masing-masing akan saling cuek dan tidak memikirkan satu sama lain. Mereka akan saling berlepas diri sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

“Apabila datang hari Kiamat, Allah mengumpulkan manusia-manusia generasi awal hingga yang paling akhir, lalu ada seruan, “Siapa yang pernah dizhalimi silakakan mendatangi orang yang menzhalimi utuk mengambil haknya.  Lalu seseornag merasa gembira ketika masih ada hak yang belum ditunaikan oleh orang tuanya, anaknya, istrinya mau dia menuntutnya meski sekecil apapun, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

“Apabila telah ditiup  sangkakala itu, samasekali tak ada hubungan keturunan di antara mereka lagi ketika itu, dan tidak pula akan sempat tanya bertanya.” (QS al-Mukminun 101)

Adapun sahabat, ketika terjalin hubungan dan keakraban dalam rangka taat kepada Allah, faidahnya bisa dirasakan hingga hari Kiamat.

Jenis amal berupa saling mencintai karena Allah sendiri memiliki keutamaan agung. Di mana Allah akan menaungi mereka di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yakni di makhsyar yang sangat panas oleh terik matahari yang didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil saja.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, di mana tidak ada naungan pada hari ini selain naungan-Ku.” (HR Muslim)

Orang yang saling mencintai karena Allah juga menempati derajat yang tinggi di jannah. Tidak tanggung-tanggung, para Nabi dan para syuhada’ bahkan takjub dengan keadaan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang meskipun bukan golongan para nabi, namun para nabi dan juga para syuhada takjub dengan keadaan mereka. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah, agar kami bisa mencintai mereka. Beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ عِباَدِ اللهِ عِباَداً لَيْسُوْا بِأَنْبِياَءِ ، يَغْبِطهُمُ اْلأَنْبِياَءِ وَالشُّهَدَاءُ ، قِيْلَ  مَنْ هُمْ لَعَلَّناَ نُحِبُّهُمْ ؟ قاَل  هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلاَ انْتِسَابٍ ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَناَبِرَ مِنْ نُوْرٍ ، لاَ يَخَافُوْنَ إِذاَ خَافَ الناَّسُ، وَلاَ يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزِنَ الناَّسُ

“Mereka adalah orang saling mencintai karena Allah, meski tak ada hubungan rahim maupun nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, berada di mimbar-mimbar yang bercahaya, mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan dan ereka tidaklah bersedih di saat orang-orang bersedih.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad yang bagus)

 Syafaat di Hari Kiamat

Tidak hanya jenis amalnya yang memiliki keutamaan, bahkan seorang teman ataupun sahabat, sebagaimana di dunia saling menolong dalam taat, saling cegah dalam hal maksiat, maka kelak seorang sahabat bisa memberikan syafaat di akhirat. Karena itulah Imam Hasan al-Bashri menasehatkan, ”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka bisa memberi syafaat (pertolongan) pada hari klamat.”

Dalam sebuah momen,  Ibnul al-Jauzi juga pernah berkata kepada para sahabat dan murid-muridnya, ”Jika kalian kelak tidak menemukan aku di surga bersama kalian, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan, “Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.” Lalu beliau menangis, semoga Allah merahmati beliau.

Tentang syafaat seorang sahabat ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang panjang, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah  untuk  memperjuangkan hak saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon, “Wahai Rabb kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji. Lalu dikatakanm, “Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Orang-orang mukmin itupun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.” (HR Muslim)

Jika ada pertanyaaan, tidakkah hadits ini bertentangan dengan firman Allah,

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39)

Jawabannya adalah tidak. Karena ketika seseorang beramal dalam bentuk saling mencintai dan bersahabat karena Allah, maka di antara hasilnya adalah ia berhak mendapatkan syafaat dari sahabatnya.

Sahabat yang bermanfaat bukanlah orang yang selalu membuat kita senang, bukan pula orang yang mendukung apapun yang kita putuskan. Akan tetapi sahabat yang baik adalah yang mau mengingatkan saat kita alpha, yang membantu kita untuk taat kepada Pencipta, mencegah kita dari perbuatan nista, dan bersedia tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Bayangkan, betapa beruntungnya dan bahagianya seseorang yang memiliki banyak teman orang-orang sholih. Yang mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid, mengajari tilawah Al-Qur’an, mengajak menghadiri majelis ilmu, dan menasehatinya dalam kebaikan.

Jika kita mendapatkan teman semisal ini, maka pertahankanlah ia, dan janga sampai lepas dari kita. Sebagaimana nasihat Imam asy-Syafi’I, “Jika engkau punya sahabat membantumu untuk taat, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan ia. Alangkah susahnya mencari teman yang baik, dan betapa mudah lepasnya.”

Pun demikian, seshalih apapun seorang sahabat, pasti memiliki kekurangan, sebagaimana diri kita juga memiliki kekurangan. Jangan sampai kekhilafan dan sedikit cela menyebabkan kita menjauhi sahabat, karena tidak ada manusia yang tanpa cela. Alangkah indahnya nasihat Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa mencari teman yang tanpa cela, niscaya ia akan hidup sendiri tanpa teman.”
Persahabatan itu butuh untuk saling menasehati, menjaga adab yang menjadi sebab kelanggengan dan mudah memaafkan demi kelangsungan sebuah persaudaraan. Jangan berpikir akan mendapatkan seorang teman yang tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Jangan pula mudah terhasut oleh desas desus orang yang membuat retak persaudaraan. Abu Qilabah rahimahullah berkata,

“Jika sampai kepadamu suatu berita yang tidak suka dari saudaramu, maka carikanlah udzur/alasan, jika engkau tidak mendapatkan udzur/alasan untuknya, maka katakanlah, mungkin saja dia memiliki alasan yang aku tidak ketahui.” Sedangkan maksud mencarikan alasan adalah berprasangka baik dengan mengedepankan kemungkinan positif. Semoga Allah memperbanyak sahabat yang membantu kita untuk taat, dan kelak menjadi syafaat pada hari Kiamat, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Disadur dari : Majalah Ar-Risalah

Khotbah Jum’at

6 Prinsip Parenting Islami

Khutbah Pertama:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛

Jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah.

Marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur atas ni’mat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala  berikan kepada kita bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan terus berupaya menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi semua laranganNYa. Diantara perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala  kepada kita adalah bersyukur  atas nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala   berikan kepada hambaNYa, karena dengan rasa syukur tersebut sebagai bukti ketundukan hamba kepada Allah sebagai pemberi rizki.

Sesungguhnya di antara bentuk kewajiban yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah kewajiban pendidikan, pengasuhan, dan kepemimpinan. Amanat yang agung yang wajib dipegangi adalah perhatian dalam hal ini. Yakni perhatian terhadap pendidikan anak. Hal ini –ma’asyiral muslimin-, adalah sebuah amanah dan tanggung jawab. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (27) وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28).

Maknanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan seorang anak kepada para orang tua sebagai cobaan dan ujian. Ujian tersebut dalam bentuk anak memiliki hak-hak yang harus ditunaikan. Apabila orang tua menunaikan hak-hak tersebut sesuai dengan yang Allah perintahkan, maka Allah persiapkan bagi para orang tua pahala yang sangat bersar. Namun jika mereka menyia-nyiakan anak, maka bagi para orang tua hukuman di sisi Allah bergantung dengan sejauh mana penyia-nyiaan mereka.

Oleh karena itu, Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Ayat ini merupakan prinsip yang penting dalam pendidikan anak. Para orang tua wajib berpegang dengannya. Dalam shahihain dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ؛ الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، أَلا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Pembantu dalam permasalahan harta tuannya adalah pemimpin dan dia akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.”

Makna mas’ul (tanggung jawab) di sini adalah seorang hamba apabila ia berdiri di hadapan Allah Jalla wa ‘Ala, maka Allah akan bertanya kepadanya tentang hal itu. Sebagian ulama menyatakan, sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala pada hari kiamat akan bertanya kepada orang tua tentang anaknya sebelum Allah bertanya kepada anak bagaimana ia berlaku kepada orang tuanya. Allah telah mewatiati agar anak berbuat kebaikan kepada orang tuanya. Dan juga Allah mewasiatkan kepada orang tua untuk mendidik dan mengajari anaknya kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.” (QS. Al-Ankabut: 8).

Firman-Nya juga

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.” (QS. An-Nisa: 11).

Dan firman-Nya juga,

قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).

Ma’asyiral muslimin,

Pendidikan anak adalah tanggung jawab dan amanah yang besar. Wajib bagi para orang tua untuk bertakwa kepada Allah dalam urusan anak-anak mereka. Wajib bagi para orang tua untuk memberikan pendidikan dan bimbingan. Menumbuh-kembangkan mereka dalam akidah Islam, amalan-amalan Islam, dan akhlak-akhlak Islam. Para orang tua wajib membangun pondasi ketakwaan dan keshalehan agar anak-anak mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi hak-hak Allah Jalla wa ‘Ala pada diri mereka.

Ibadallah,

Pendidikan anak harus tegak pada prinsip dan asas yang benar. Untuk merealisasikan tujuan yang mulia ini, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Di antara prinsip tersebut adalah:

Pertama: Senantiasa mendoakan anak.

Mendoakan ini bisa dimulai saat sang anak belum lahir, dengan meminta kepada Allah keturunan yang shaleh. Dan setelah mereka terlahir di dunia dengan mendoakan mereka hidayah dan kebaikan. Setelah mereka cenderung kepada hidayah dan kebaikan, para orang tua hendaknya mendoakan mereka agar istiqomah di jalan kebaikan tersebut. Hal ini sebagaimana doa Nabi Ibrahim:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100).

Kemudian beliau berdoa:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35).

Dan doa beliau juga:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 40).

Doa Nabi Zakariya:

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38).

Dan doa ‘ibadurrahman:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 76).

Ketahuilah ma’asyiral mukminin,

Doa orang tua untuk anaknya adalah doa yang mustajab yang tidak tertolak. Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau. Namun para orang tua juga jangan tergesa-gesa dalam doa mereka, terutama saat mereka dalam kondisi marah kepada anak. Jangan mendoakan anak dengan keburukan. Apabila doa tersebut dikabulkan, mereka akan menyesal. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا

“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra: 11).

Ayyuhal mukminun,

Kedua: Adil di antara anak dan menjauhi sikap zhalim dan tidak adil.

Jika orang tua tida bersikap adil di antara anak mereka, maka akan terdapat rasa permusuhan, hasad, dan kebencian antara mereka. Jika mereka berbuat adil, maka keadilan tersebut akan menjadi sebab terbesar saling cinta dan kasih saying di antara mereka. Dan juga menjadi sebab baiknya perangai mereka.

Dalam Shahihain, dari Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu

عَنْ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ : أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ? قَالَ : لَا قَالَ: اِتَّقُوا اَللَّهَ , وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي, فَرَدَّ تِلْكَ اَلصَّدَقَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ قَالَ : ( فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي ثُمَّ قَالَ : أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي اَلْبِرِّ سَوَاءً? قَالَ : بَلَى قَالَ : فَلَا إِذًا )

Dari Nu’man Ibnu Basyir radhiallahu ‘anhuma, “Ayahku menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau melakukan hal ini terhadap anakmu seluruhnya?”. Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: “Takutlah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu.” Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. (Muttafaq ‘alaihi).

Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: “Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini.” Kemudian beliau bersabda: “Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti kepadamu?”. Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: “kalau begitu, jangan lakukan.”

Ayyuhal mukminun ibadallah,

Ketiga: Lemah lembut, kasih sayang, dan berbuat baik terhadap anak. Jauhi sifat kasar dan kaku.

Jika lemah lembut ada pada suatu hal pasti dia akan menjadikan hal itu indah. Dan tidaklah hilang dari sesuatu pasti hal itu akan menjadi rusak. Lakukan kelemah-lembutan, kasih sayang, dan perhatian terhadap anak sedari mereka kecil. lakukan hal it uterus-menerus.

Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumi cucunya Hasan bin Ali. Saat itu al-Aqra’ bin Habis duduk di dekat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku memiliki 10 orang anak dan aku tidak pernah mencium salah seorang dari mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menatap al-Aqra’, kemudian bersabda,

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

“Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak disayangi.”

Dalam Shahihhain, dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Datang seorang Arab Badui menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Anda mencium anak-anak? Kami tidak pernah melakukannya’. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

“Sungguh aku tidak mampu mencegah jika ternyata Allah telah mencabut sifat kasih sayang dari hatimu.”

Kasih sayang dan lemah lembut ini ma’asyiral mukminin, adalah sebab yang membuat anak menjadi dekat dan cinta kepada kedua orang tuanya. Apabila rasa kedekatan ini sudah ada, maka rasa cinta pun akan muncul. Sehingga orang tua bisa memberikan pengarahan, nasihat, dan pendidikan terhadap anak-anaknya. Dan anak-anak pun akan lebih mudah menerima dan memperhatikan apa yang disampaikan kedua orang tuanya.

Ibadallah,

Keempat: Orang tua memiliki semangat untuk mengarahkan anak-anaknya kepada perkara yang mulia.

Hal ini dilakukan dengan cara memberi pengajaran tentang akidah Islamiyah dan kewajiban-kewajiban agama. Kemudian melarang mereka dari yang haram serta memperingatkan mereka dari perbuatan dosa. Dan sebaik-baik nasihat seorang ayah kepada anaknya adalah nasihat Lukman al-hakim kepada anaknya. Sebuah nasihat yang Allah sebutkan di dalam Kitab-Nya di surat Lukman.

Apa yang dilakukan oleh Lukman adalah sebuah teladan yang mulia dan agung. Hendaknya kita mencontoh Lukman dalam mendidik dan mengajar anaknya. Ia mengajarkan tentang keimanan kepada Allah dan beriman pada semua yang diperintahkan-Nya. Ia mengajarkan mentauhidkan Allah Jalla wa ‘Ala dan menyerahkan agama hanya untuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya´qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al-Baqarah: 132).

Dan wasiat pertama Lukman kepada anaknya,

يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena menyekutukan Allah adalah kezhaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13).

Setelah menasihati anaknya dengan keimanan, Lukman melanjutkannya dengan nasihat agar menjaga kewajiban-kewajiban, melarang anaknya dari kemungkaran, dan memperingatkannya akan perbuatan dosa. Di antara kewajiban yang paling terdepan untuk dijaga adalah shalat.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).

Dalam Sunan Abu Dawud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat.”

Ayyuhal mukminun,

Kelima: Memperhatikan teman-teman mereka, terutama teman dekat.

Karena teman dekat yang bertemu secara intens akan mempengaruhi satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan perumpamaan yang sangat menarik mengenaik teman yang baik dan teman yang buruk. Dalam Shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

“Seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Kemudian di zaman ini, ada wujud pertemanan, yang belum ada di zaman sebelumnya. Yaitu pertemanan dengan chanel-chanel televisi, internet, dan alat-alat komunikasi modern lainnya. Hal itu terdapat di dalam rumah-rumah bahkan dalam genggaman. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua mengawasi teman-teman anak-anaknya berupa benda-benda tersebut. Karena teman dekat akan memberikan pengaruh yang besar dan bahaya yang fatal terhadap pola pikir, agama, dan akhlak. Berapa banyak pemuda-pemuda menjadi rusak gara-gara benda-benda tersebut.

Ayyuhal mukminun ibadallah,

Keenam: Orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya.

Jangan orang tua menjadi seseorang yang memerintahkan anaknya kepada kebaikan, namun dia sendiri tidak melakukannya. Jangan pula melarang mereka dari kejelekan, tapi dia sendiri malah melakukannya. Yang demikian malah menjadikannya sebagai orang tua teladan dalam keburukan untuk anaknya. Yang demikian malah menjadikan seruan dan arahannya bertolak belakang. Antara perkataan dan perbuatannya berada di lembah yang berbeda.

Jika demikian halnya, anak-anak akan tumbuh besar pada didikan seorang ayah yang bertentangan perkataan dan perbuatannya. Yang berbahaya bagi karakter anaknya. Sang anak akan sangat terpengaruh dengan prilaku kedua orang tua tersebut.

Wajib bagi para orang tua yang mendidik dan mengarahkan anak-anaknya untuk merenungi terus firman Allah Tabaraka wa Ta’ala,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab?” (QS. Al-Baqarah: 44).

Dan perkataan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam,

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (QS. Hud: 88).

Ayyuhal mukminun,

Bersamaan dengan usaha para orang tua dengan memperhatikan hal-hal di atas, hati mereka wajib tetap bersandar kepada Allah Ta’ala. Bertawakal, menyerahkan urusan, dan beraharap hanya kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Berharap mudah-mudah Allah menjadikan anak-anak mereka anak yang shaleh dan taat. Menjaga mereka sebagaimana Dia menjaga hamba-hamba-Nya yang shaleh.

اَللَّهُمَّ يَا رَبَّنَا نَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ فِي هَذِهِ السَّاعَةِ المُبَارَكَةِ وَفِي هَذِهِ الْلَحْظَاتِ الكَرِيْمَةِ، وَنَسْأَلُكَ يَا رَبَّنَا بِأَسْمَائِكَ الْحُسْنَى وَصِفَاتِكَ العُلْيَا وَبِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ أَنْ تُصْلِحَ لَنَا أَوْلَادَنَا أَجْمَعِيْنَ، اَللَّهُمَّ مَنَّ عَلَيْهِمْ بِالصَّلَاحِ وَالْهِدَايَةِ وَالاِسْتِقَامَةِ وَالسَّدَادِ، وَجَنِّبْهُمْ يَا رَبَّنَا اَلْفَسَادَ وَالْهَلَاكَ، اَللَّهُمَّ لَا نَرْجُوْ ذَلِكَ إِلَّا مِنْكَ، وَلَا نَتَوَكَلُ فِي ذَلِكَ وَفِي أَيِّ أَمْرٍ مِنْ أُمُوْرِنَا إِلَّا عَلَيْكَ؛ فَأَنْتَ وَحْدَكَ المُسَتَعَان وَعَلَيْكَ التُكْلَان وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ .

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.

Ayyuhal mukminun,

Yang harus diperhatikan oleh para orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anaknya adalah bersabar dalam usaha tersebut. Karena kesabaran akan menghasilkan kebaikan dan hasil pendidikan yang baik dan penuh berkah. Yang hal itu akan berdampak kebaikan di dunia, alam kubur, dan hari saat ia berjumpa dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Orang tua juga harus mengingat, janganlah mereka malas dalam mendidik anak mereka. Apabila orang tua malas dalam melakukan pendidikan terhadap anaknya, maka ia akan mendapatkan balasan yang buruk baik di dunia maupun di akhirat.

Bertakwalah kepada Allah wahai para orang tua, dalam permasalahan anak-anak. Hendaknya kita jadikan pendidikan dan pengarahan kepada anak-anak sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita sertai usaha kita ini dengan doa memohon kebaikan, hidayah, dan keistiqomahan. Kita juga memohon perlindungan kepada-Nya dari jalan-jalan yang mengantarkan kepada kejelekan. Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam permasalahan ini.

وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ  إِنَّ)اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ:  اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا  [الأحزاب:56] ،(الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا)).

للَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَعَلَيْكَ بِأَعْدَاءِ الدِّيْنَ فَإِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُوْنَكَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ النَّصْرَ وَالمَعُوْنَةَ لِإِخْوَانِنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ حَافِظًا وَمُعِيْنًا وَهَادِيًا وَمُسَدِّدًا يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ مِنْ سَدِيْدِ الأَقْوَالِ وَصَالِحِ الْأَعْمَالِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ. اَللَّهُمَّ وَلِّ عَلَى المُسْلِمِيْنَ أَيْنَمَا كَانُوْا خِيَارَهُمْ، وَاصْرِفْ عَنْهُمْ شِرَارَهُمْ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَجَنِبْنَا وَالمُسْلِمِيْنَ الفِتَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ .

اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحَيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ .

Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad

Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel http://www.KhotbahJumat.com

5 Kisah Lucu dari Ibnul Jauzi

Mari tersenyum!!!

Ayah Hija berniat untuk pergi haji. Saat ayahnya hendak berangkat, Hija, yang saat itu sedang agak sentimen berkata, “Jangan lama-lama lho yah, cobalah kembali saat Id, jadi engkau bisa berkurban bersama kami.”
Seorang pencuri mengambil pintu rumah Abu Salim. Kemudian ia mencuri pintu masjid. Ada orang yang memergoki lalu berkata, “Apa yang kau lakukan?” Dia menjawab, “Sssstt… Pemilik pintu ini udah tahu kalau yang mencuri pintu saya.”

Ada seorang Badui yang tinggal di dekat sungai. Pada suatu malam, ia bermimpi “buruk” di malam yang dingin. Ia berat untuk mandi karena udaranya sangat dingin. Untuk itu, ia mencari ember untuk mengambil air hangat. Setelah dicari ternyata tidak ketemu, ia pun mengambil pakaiannya dan berenang ke sisi lain dari sungai yang dingin itu untuk mengambil ember. Akhirnya ia dapatkan embernya lalu kembali lagi lewat sungai yang dingin itu dan mengambil air hangat kemudian mandi.

Seorang lelaki tua berdiri di samping pintu masjid. Untuk menghormatinya, si muadzin langsung menawarinya untuk menjadi imam shalat. Lelaki itu menolak, maka muadzin sendirilah yang menjadi imam. Setelah selesai shalat, ia berkata kepada lelaki tua itu, “Baba, jika Anda telah memimpin shalat kami akan memberi Anda sesuatu.” Orang tua itu pun menjawab, “Bagaimana bisa aku menjadi imam, aku belum wudhu.”

Seorang individu telah mendengar bahwa puasa Asyura setara dengan berpuasa sepanjang tahun. Ia pun berpuasa selama setengah hari dan ia percaya bahwa nilainya setara dengan puasa selama enam bulan.

Seorang lelaki culun diberitahu bahwa keledainya dicuri. Ia pun malah berkata, “Terima kasih ya Allah, saat itu aku tidak naik di atasnya.”

Penerjemah: Rudy

Al-Qolam Kr-Moncol